Jumat, 26 Desember 2008

MENEGAKKAN INTEGRITAS

Sepeninggal Nabi Muhammad, hanya segelintir sahabat yang masih menegakkan ajarannya. Salah satunya, Abu Dzar Al-Ghifari. Pada masa pemerintahan Khalifah Ustman bin Affan, dia tidak henti-hentinya menyampaikan kritik pedas. Dia meminta Khalifah hidup hemat dan tidak menimbun kekayaan. Ia memprotes tindakan Ustman yang menguntungkan karib kerabatnya. Akhirnya, Ustman mengusirnya ke Syiria. Tapi, di Syiria, Abu Dzar melihat gubernur Muawiyah membangun istana Al-Khadhra’ (Istana Hijau). Tiap hari ia melewati istana itu dan berteriak, “Sudah datang kepada kalian Khalifah yang membawa api. Ya, Allah, laknatlah orang-orang yang menyuruh kebaikan tetapi meninggalkannya. Ya, Allah, laknatlah orang yang melarang kemungkaran tetapi tetap melakukannya”. Muawiyah meradang. Pengawalnya menyeret Abu Dzar ke hadapannya. Ketika sampai dihadapannya, sambil menuju kepada istana megahnya, Abu Dzar berteriak, “Hai Muawiyah, kalau engakau membangun istana ini dengan uang kaum muslim, engkau berkhianat. Kalau engkau membangun dengan uangmu sendiri, ini pemborosan. Demi Allah, aku melihat kebenaran sudah dipadamkan dan kebatilan sudah dihidupkan. Orang jujur dianggap berdusta. Orang diistimewakan bukan karena ketakwaannya dan orang-orang saleh telah disingkirkan”.

Muawiyah kemudian melaporkan ihwal Abu Dzar kepada Khalifah. Ia dianggap menghasut rakyat kecil karena sering berkata dihadapan mereka, “Awas, orang-orang kaya akan mendapat bencana kaum fakir miskin”. Muawiyah mengirimkan Abu Dzar kembali ke Madinah, pusat pemerintahan. Ia ditumpangkan dalam kendaraan dalam keadaan terikat. Ketika tiba di Madinah, ikatan itu menyobek daging pahanya. Dia divonis hukuman pengasingan. Abu Dzar harus dibuang di Rabadzah, sebuah dusun terpencil di padang pasir nan gersang.

Ada banyak sahabat yang mengiringi kepergiannya, salah satunya Ali bin Abu Thalib. Ia berkata kepada Abu Dzar, “Demi Allah, seandainya engkau menginginkan dunia mereka, tentulah mereka memberikan kecaman kepadamu. Sekiranya engkau menyetujui perbuatan mereka, tentulah mereka akan mencintaimu. Tidak ada apa pun yang menghambat mereka untuk sependapat denganmu kecuali kecintaan mereka kepada dunia dan ketakutan mereka kepada kematian”. Di Rabadzah, wafatlah Abu Dzar, seorang tokoh perintis Islam yang selalu mengucapkan kebenaran walaupun pahit, pejuang yang meneteskan air matanya kala melihat penderitaan rakyat kecil, dan menggelegak marah ketika melihat kerakusan orang kaya. Ia wafat sebatang kara. Jauh dari kerabat dan sanak saudaranya.

Abu Dzar adalah contoh figur par excellence tentang penegakan integritas. Dia berani menyatakan kebenaran walau di hadapan pemimpin yang berkuasa. Baginya, lebih baik terusir dan mati mulia daripada menutupi kebenaran.
Untuk saat ini, kita sangat sulit untuk menemukan orang seperti Abu Dzar. Integritas sudah menjadi barang langka, bahkan mungkin hampir terkubur sering ambruknya moralitas kepemimpinan di negeri ini. Padahal, berbagai survei yang dilakukan di berbagai perusahaan terkemuka menyebutkan bahwa integritas adalah prasyarat mutlak untuk menjadi seorang pemimpin sejati. Tanpa integritas, kepemimpinan tidak akan bersinar dan berdampak luas bagi organisasi.

Integritas juga merupakan kualitas personal yang sangat penting bagi seorang karyawan. Tanpa integritas, kredibilitasnya akan pudar dan kepercayaan orang lain akan sirna. Sayangnya, walaupun integritas diakui sebagai kualitas personal yang sangat penting, kebanyakan karyawan justru sering mengabaikannya. Mereka menganggap integritas hanya utopia dan hanya bisa dipraktekkan dalam kondisi sosial yang ideal. Saat ini, ketika semua orang berperilaku munafik dan menghalalkan berbagai cara untuk meraih tujuannya, integritas adalah hal yang mustahil untuk dipraktekkan. Benarkah pandangan itu ?. Tentu saja, tidak !. Sekali lagi, integritas adalah prasyarat mutlak untuk meraih sukses yang hakiki. Integritas membuat seseorang dihormati, dihargai, dan ditauladani.
Bagi kebanyakan orang, integritas sering dipandankan dengan kejujuran. Sementara menurut Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulum al-Din, kejujuran itu sendiri bermakna luas. Paling tidak, dia menyebutkan enam makna kejujuran, yaitu kejujuran dalam berbicara, kejujuran dalam berniat dan kemauan, kejujuran dalam perencanaan, kejujuran dalam melaksanakan rencana, kejujuran dalam tindakan, dan kejujuran dalam merealisasikan semua ketentuan agama. Bila seseorang telah memiliki semua sifat tersebut, barulah dia disebut jujur (Rakhmat, 2006).

Sementara menurut Hendrick dan Ludemen (2002), selain menyentuh dimensi intrapersonal, integritas juga menjangkau dimensi interpersonal. Mereka menambahkan kemampuan menepati janji dan merengkuh tanggung jawab sebagai puncak integritas. Orang yang memiliki integritas tidak suka mengobral janji. Dia sedikit berbicara dan lebih banyak bertindak. Dia berkata apa adanya dan pantang memelintir fakta. Sikap ini muncul dari hati nuraninya yang paling dalam. Baginya, hati nurani adalah lilin yang menerangi jalan hidupnya. Bila hatinya berkata “ini benar”, maka dia akan berbicara “ya”. Sebaliknya, jika hatinya berkata “ini salah”, maka dia akan berbicara “tidak”.

Ambruknya Integritas
Saya berani bertaruh, setiap orang pasti mengakui bahwa integritas adalah kualitas pribadi yang sangat penting. Hanya saja, ada sejumlah faktor yang menyebabkan seseorang sering mengesampingkannya, antara lain :

1. Manajemen Impresi
Faktor pertama yang menyebabkan kebanyakan orang mengabaikan integritas adalah keinginan untuk mendapatkan pengakuan dan penghormatan dari orang lain. Hal ini dilakukan dengan cara menciptakan kesan yang menarik perhatian orang lain. Para psikolog menyebut kecenderungan ini sebagai manajemen impresi (management of impression).
Paling tidak, ada tiga cara yang biasanya dilakukan seseorang untuk menimbulkan kesan bahwa dia kapabel, cerdas, dan berkuasa.

a. Menata Kata dan Cara Berbicara
Cara pertama yang biasanya dilakukan seseorang untuk membangun harga diri dan kewibawaan adalah dengan memilih kata-kata yang berkonotasi intelektual. Dia suka mengutip berbagai referensi walau terkadang kutipan tersebut tidak sesuai dengan topik pembicaraan. Dengan cara itu, dia berharap dinilai pintar, berpendidikan, dan berasal dari masyarakat terpelajar.
Pada saat yang sama, dia sangat terobsesi dengan berbagai embel-embel akademis, seperti DR, Prof, MBA, dan lain sebagainya . Jika perlu, dia menghalalkan pelbagai cara untuk mendapatkan embel-embel tersebut. Kecenderungan inilah yang membuatnya menjadi sasaran empuk pergadangan gelar yang merebak di tengah masyarakat.

Dia juga pandai mengatur cara berbicaranya. Agar nampak berwibawa, volume suaranya agak pelan, bertempo lambat, dan tidak banyak berbicara alias lebih banyak diam. Tapi, sesungguhnya diamnya itu dimaksudkan untuk membuat orang lain merasa segan dan takut.
Secara pribadi, saya pernah merasakan langsung betapa merugikannya perilaku semacam itu. Suatu ketika, saya diminta untuk memberikan pelatihan di salah satu BUMN terkemuka di tanah air. Kebetulan, ada masalah yang geografis yang sulit diatasi, sehingga panitia berniat menata ulang jadwal pelatihan itu. Tapi, upaya itu tersendat-sendat hanya karena mereka segan dengan atasannya. Mereka merasa tidak berani berbicara kepada atasannya karena atasannya itu dikenal suka menjaga jarak dengan bawahannya alias jaim (jaga image) Anda tahu akhir penyelesaiannya ?. Ya, saya dan tim terpaksa dikorbankan dan harus mengikuti rencana yang beresiko itu.

b. Berpenampilan High Class
Cara kedua yang biasanya dilakukan seseorang untuk mendapatkan citra positif adalah dengan mengatur penampilannya. Penampilannya harus perlente, yang mencerminkan status sosial yang dimilikinya. Mulai dari ujung rambut sampai dengan ujung kaki harus dihiasi dengan asesoris berharga dan bermerek ternama. Jas yang dikenakannya harus dirancang oleh desainer ternama, jam tangannya harus rolex dan mobilnya harus BMW. Padahal, boleh jadi, kualitas barang-barang tersebut sebenarnya sama saja dengan barang-barang murah pada umumnya. Tapi, sekali lagi, yang terpenting baginya bukanlah harga atau kualitas barang tersebut, melainkan prestisius di balik barang tersebut.

c. Menciptakan Panggung yang Megah
Cara ketiga yang sering dilakukaan orang untuk mendapatkan penghargaan dari orang lain adalah dengan menata panggung yang mengelilinginya. Panggung tersebut bisa berupa kantor, ruang kerja, atau tempat tinggalnya. Gedung kantornya berdiri mentereng, bercat terang, berlantai lima, dan terletak di ruas jalan utama. Ruang kerjanya dihiasi foto-foto seremonial para pejabat penting dan selebriti ternama. Plakat dan piagam penghargaan juga tidak lupa dipajang. Rumahnya juga tidak kalah menawan dan berada di lingkungan mewah. Perkarangan yang luas, bangunan yang menjulang tinggi, suasana sosial yang tenang dan petugas satpam yang bersiaga di gardu jaga, semakin menguatkan kesan bahwa dia adalah orang penting, kaya raya dan sukses.

2. Ketidakmampuan Mengendalikan Diri
Dalam bukunya yang lain, yang tidak kalah menarik, Kimia Kebahagiaan (2005), Al-Ghazali menganalogikan jiwa manusia seperti sebuah kerajaan. Nafsu diumpakan seperti penarik pajak yang tidak henti-hentinya memaksakan kehendak. Amarah seperti polisi yang kasar dan sering bertindak semena-mena. Akal seperti menter-menteri yang membantu tugas sang raja. Sementara hati bertindak sebagai raja yang mengatur semua komponen pemerintahan tersebut agar bertindak sebagaimana mestinya. Tapi, dalam kenyataannya, kebanyakan orang tidak mampu mewujudkan harmoni tersebut. Masing-masing komponen tercerai berai dan berjalan sendiri-sendiri. Bahkan, yang acapkali terjadi, nafsulah yang justru memegang kendali pemerintahan. Padahal, dia tidak pernah merasa puas dan selalu mengharapkan lebih. Sehingga wajar jika Nabi Muhammad pernah berujar, “Jika kepada anak Adam diberikan satu gunung emas, niscaya dia akan menginginkan gunung emas lainnya”.
Para psikolog menyebut kecenderungan nafsu yang tidak terkendali ini sebagai hedonic treadmill (Rakhmat, 2005). Agar konsep ini lebih mudah dipahami, saya akan memberikan contoh dari pengalaman saya sendiri. Sewaktu masih menjadi mahasiswa, orang tua saya mengirimkan uang empat ratus ribu rupiah setiap bulannya, jumlah yang tidak sedikit pada zaman itu. Uang itu saya gunakan untuk makan dan membeli buku. Sekali-sekali, sebagian dari sisa uang tersebut saya gunakan untuk jalan-jalan dan berbelanja di supermarket. Tapi, sebagaimana kebiasaan remaja pada umumnya, saya tidak bisa membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Uang yang saya gunakan untuk jalan-jalan dan membeli barang-barang di supermarket justru lebih banyak dibandingkan untuk keperluan pokok. Akibatnya, belum genap sebulan, saya sudah menelpon orang tua saya dan meminta uang tambahan. Walhasil, orang tua saya memberikan angin segar, jumlah uang kiriman untuk saya ditingkat menjadi empat ratus ribu rupiah setiap bulan. Tapi, apakah uang sejumlah itu cukup ?. Ternyata tidak. Perubahan pemasukan ternyata juga diringi dengan perubahan gaya hidup saya. Saya membeli hand phone bekas dan menyisihkan uang untuk membeli pulsa. Bahkan tidak jarang, saya mengirit-irit hanya untuk membeli pulsa. Nah, inilah yang saya maksudkan dengan hedonic treadmill.

Dalam konteks kepemimpinan, ketidakmampuan mengendalikan diri tersebut bisa berdampak lebih luas dan lebih berbahaya. Pemimpin yang tidak mampu mengendalikan nafsunya akan memburu kekuasaan dan kekayaan pribadi dengan berbagai cara dan tanpa menghiraukan kondisi rakyatnya yang terpuruk karena harus menanggung beban kepentingan pimpinannya itu. Dia rela menyogok pendukungnya agar memilihnya dalam proses pemilihan suara. Berikutnya, karena dia telah mengeluarkan uang pelicin yang jumlahnya tidak sedikit, maka pikiran yang pertama kali muncul dibenaknya adalah bagaimana caranya mengembalikan uang yang telah dikeluarkannya itu. Hampir bisa dipastikan, dia akan mengambil keuntungan sebesar-besarnya selama menduduki jabatan tersebut. Selain untuk keperluan pribadi, uang yang diperolehnya itu juga disiapkan untuk menghadapi proses pemilihan suara berikutnya. Pada saat yang sama, dia juga gila hormat dan pujian. Dia ingin orang lain tunduk mutlak di bawah kekuasaan. Kondisi ini sama seperti yang dialami Fir’aun. Pada awalnya dia mendapatkan perhormatan yang wajar dari para menteri, pasukan, dan rakyatnya. Tapi, lambat laun dia menginginkan penghormatan dan pengakuan mutlak dari pengikutnya. Dia mentasbihkan dirinya sebagai Tuhan.

3. Dorongan Lingkungan yang Kuat
Ambruknya integritas seseorang adakalanya tidak disebabkan oleh kelemahan dirinya, melainkan karena dorongan lingkungan, terutama keluarga. Dia terombang-ambing antara mengutamakan kepentingan umum atau kepentingan keluarganya, antara penegakan hukum atau kasih sayang kepada keluarga.
Kondisi dilematis ini pernah dialami Umar bin Khattab, khalifah kedua yang dikenal adil dan tegas. Suatu hari, Umar mendapatkan laporan bahwa putranya Abdullah bin Umar mabuk-mabukan. Kejadian ini sebenarnya tidak disengaja. Abdullah bin Umar meminum minuman keras hanya untuk menghormati tamunya. Tapi, berita ini segera menyebar luas dan banyak kalangan, terutama kaum oposisi, yang ingin memanfaatkan situasi ini untuk menjatuhkan kepemimpinan Umar bin Khattab.
Ketika mendengar berita yang tidak menyenangkan itu, Umar segera memanggil putranya untuk diadili. Dalam persidangan, hakim memutuskan hukuman cambuk bagi Abdullah bin Umar. Mendengar keputusan itu, sebagian sahabat meminta Umar untuk meringankan hukuman bagi putranya itu. Tapi, Umar menolak keras dan dia sendiri yang melaksanakan hukuman itu.
Bagi Umar, kondisi dilematis tersebut bisa dihadapinya dengan baik. Tapi, bagi kebanyakan orang, situasi ini sangat sulit dihadapi. Tidak jarang mereka lebih mengutamakan kepentingan keluarganya ketimbang menegakkan hukum secara adil dan tanpa pandang bulu.

Cara Menegakkan Integritas
Untuk menegakkan integritas, ada enam pedoman yang bisa saya berikan. Pedoman pertama sampai ketiga lebih bersifat psiko sosial, sementara pedoman keempat dan kelima lebih bersifat spiritual.

1. Introspeksi Diri
Cara pertama yang bisa Anda lakukan untuk membangun integritas adalah mendawamkan kebiasaan untuk melakukan introspeksi diri. Introspeksi diri artinya mengenali dan menginsyafi segala bentuk perilaku yang tidak efektif. Kebiasaan ini membuat Anda memiliki kesadaran diri yang sangat tinggi dan bisa melacak di mana letak kelemahan Anda yang sesungguhnya.
Pada saat melakukan instrospeksi diri, Anda perlu membuka diri dan bersedia mendengarkan suara hati Anda. “Hati adalah kuil suci tempat Tuhan bersemayam”, kata para sufi. Dia selalu memancarkan kebenaran dan membuat Anda mampu membedakan yang baik dan yang buruk. Tapi, kemampuan hati ini bisa berkurang jika Anda melakukan perbuatan tercela berulang-ulang kali.

Hati ibarat sebuah cermin. Setiap perbuatan negatif merupakan setitik noda yang mengotori cermin itu. Jika titik-titik noda tersebut terus bertambah, maka kebeningannya akan pudar. Sebaliknya, perbuatan yang baik seperti membersihkan cermin dari noda. Jika berlangsung terus menerus, kebeningan cermin akan kembali seperti sediakala.
Selanjutnya, sewaktu melakukan introspeksi diri, cobalah untuk tidak melakukan pembenaran atau rasionalisasi atas kesalahan-kesalahan Anda. Akuilah dengan jujur dan ungkapkanlah sebagaimana adanya. Bila memungkinkan, Anda bisa menyelidiki kapan, di mana, dan seberapa intens perilaku tersebut Anda tunjukkan.
Jika memungkinkan, cobalah merekam pengalaman psiko spiritual tersebut dalam buku catatan khusus. Simpanlah baik-baik buku itu dan secara berkala cobalah untuk membukanya kembali. Dengan cara ini, Anda bisa mengevaluasi kemajuan yang telah Anda capai dan senantiasa diingatkan untuk kembali ke jalur yang benar.

2. Meminta Umpan Balik dari Orang Lain
Ada pepatah bijak yang mengatakan, “gajah di pelupuk mata tidak kelihatan sedangkan semut di ujung pulau nampak jelas”. Pepatah ini mengajarkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari kita seringkali lebih mampu melihat kekurangan orang lain ketimbang melihat kelemahan diri sendiri. Karena itu, jika Anda mengalami kesulitan untuk melakukan introspeksi diri, Anda dapat meminta umpan balik dari orang lain.
Tapi, usahakan untuk mendapatkan umpan balik dari orang yang bisa Anda percayai dan mengenal betul diri Anda yang sesungguhnya. Karena itu, dalam pergaulan sehari-hari, kita mengenal tiga istilah yang mencerminkan perbedaan intensitas keakraban sosial, yaitu kenalan, teman, dan sahabat. Kenalan adalah orang yang secara sepintas kilas kita jumpai dan rentang waktu yang kita habiskan bersamanya sangat terbatas. Teman adalah orang yang memiliki intensitas keakraban yang dalam dan waktu yang kita gunakan untuk berhubungan dengannya lebih lama daripada kenalan. Biasanya, topik yang kita bicarakan berkisar tentang pemikiran. Sedangkan sahabat adalah orang memiliki intensitas keakraban yang paling dalam. Kepada sahabatlah kita tidak semata-mata saling bertukar pikiran tapi juga saling berbagi perasaan suka dan duka.

Berdasarkan kategori di atas, menurut saya, pihak yang paling tepat untuk dimintai umpan balik adalah sahabat Anda. Karena waktu yang kita habiskan dengannya lebih lama, maka kemungkinan besar dia mengetahui secara persis bagaimana perilaku kerja kita selama ini. Tapi, jika Anda belum puas dengan umpan balik yang diberikannya, Anda bisa meminta umpan balik kepada teman- teman sejawat Anda.

3. Berhati-hatilah dalam Setiap Kata-kata Anda
Dua saran saya di atas, jika mampu Anda praktekkan dengan sungguh-sungguh akan mengasah kejujuran intrapersonal Anda. Tapi, integritas tidak semata-mata mencakup kejujuran intrapersonal. Integritas juga mencakup kejujuran interpersonal. Salah satu caranya adalah dengan berhati-hati dalam setiap ucapan yang keluar dari mulut Anda. Anda perlu menyelidiki, apakah informasi yang Anda ucapkan sudah benar ? Apakah Anda terlalu membesar-besarkan informasi tersebut atau justru menguranginya ?. Selain itu, selidiki pula, niat apakah yang sesungguhnya terselubung di balik kata-kata Anda ?. Adakalanya orang berbicara bukan untuk membuat orang lain paham, melainkan untuk membuat orang lain terperdaya.
Cobalah untuk merenungkan dan mempraktekkan dua prinsip komunikasi berikut ini :

a. Qaulan Sadidan
Qaulan sadidan artinya pembicaraan yang benar, jujur, lurus, tidak mengandung dusta, dan tidak berbelit-belit (straight to the point). Prinsip ini mengajarkan agar kita selalu menyampaikan informasi sebagaimana adanya dan berasal dari sumber yang valid. Dalam menyampaikan informasi, kita dilarang berasumsi, apalagi berspekulasi. Prinsip ini juga mendorong kita untuk berbicara langsung ke pokok persoalan. Kita tidak perlu berbelit-belit dengan menyampaikan informasi yang tidak perlu. Sikap itu seringkali justru membuat orang lain merasa dipermainkan perasaannya.

b. Qoulan Balighan
Qoulan balighan mengandung dua makna. Pertama, prinsip ini menekankan kesesuaian antara kata-kata yang diucakan dengan latar belakang lawan bicara atau audience yang dihadapi. Kita tidak boleh menyampaikan informasi dengan kata-kata yang abstrak, yang dimaksudkan untuk membangun citra intelektual pada diri kita. Kedua, prinsip ini juga menegaskan betapa pentingnya seorang komunikator menyentuh akal dan emosi lawan bicaranya sekaligus. Kita bisa menyentuh akal lawan bicara kita dengan mengajaknya berpikir kritis, menggunakan akal sehat, memberikan argumentasi yang kuat, dan lain sebagainya. Sedangkan untuk menyentuh emosi lawan bicara kita, kita bisa mengungkapkan sebuah cerita hikmah, pengalaman spiritual, atau kata-kata bijak dari para tokoh terkemuka.

4. Sadarilah bahwa Anda selalu diawasi-Nya
Jika saran-saran sebelumnya cenderung bersifat psiko-sosial, maka saran berikut ini lebih bersifat spiritual. Anda dapat menegakkan integritas dengan menyadari bahwa setiap gerak gerik Anda, kata-kata Anda, bahkan niat yang terbersit dalam hati Anda, senantiasa diketahui Tuhan. Dalam Islam, kesadaran spiritual semacam ini disebut ikhsan. Dikisahkan bahwa suatu ketika Jibril, malaikat pembawa wahyu, menyamar sebagai seorang pria dan bertanya kepada Nabi Muhammad tentang tiga hal. Jibril bertanya tentang makna iman, islam, dan ikhsan. Ketika ditanya tentang arti ikhsan, Nabi Muhammad menjawab, “ikhsan adalah engkau beribadah seolah-olah melihat Tuhan. Tapi, jika engkau tidak dapat melakukannya, yakinlah bahwa Tuhan selalu memperhatikanmu”.

Persoalannya, bagaimana cara meyakini bahwa Tuhan itu ada dan selalu mengawasi kita ?. Untuk sampai pada tahap ini, salah satu cara yang bisa Anda lakukan adalah merenungkan “jejak-jejak” keberadaan-Nya melalui berbagai ciptaan-Nya yang tersebar di bumi dan jagat raya ini. Tuhan tidak mungkin muncul secara empiris, sehingga Anda mampu menatapnya dengan kasat mata. Tuhan adalah realitas meta empiris yang hanya mampu dilihat dengan mata batin.

Inilah makna hakiki perenungan. Kita tidak boleh semata-mata menangkap penampakan fisik, tetapi juga mampu menemukan intisari di balik penampakan fisik tersebut. Hal inilah, yang menurut Ali Syari’ati (1996), yang membedakan cara pandang ilmuwan barat yang ateistik dengan intelektual timur yang monoteistik. Dia memberi perumpamaaan dengan dua orang yang mengamati sebuah lukisan. Orang pertama sibuk meneliti bentuk gambar, komposisi warna, keharmonisan lukisan itu. Alhasil, dia merasa kagum dengan keindahan lukisan itu. Sementara orang kedua tidak berhenti pada tahap kekaguman semata. Dia menyadari betul bahwa yang lebih patut dikagumi adalah orang yang berada di balik lukisan itu. Dialah figur yang pantas diacungkan jempol atas prestasinya itu. Orang yang pertama mewakili cara pandang ilmuwan barat sedangkan orang kedua mewakili cara pandang intelektual timur yang monoteistik.

Nah, jika alam semesta ini diumpamakan seperti sebuah lukisan yang luar biasa indah dan harmonis, maka kekaguman kita mestinya dialamatkan kepada realitas yang berada di balik itu semua. Tentu, Anda tahu siapa yang saya maksudkan bukan ?.

5. Sadarilah bahwa Anda pasti dimintai pertanggungjawaban
Seiring dengan kesadaran diri bahwa Tuhan itu ada dan selalu mengawasi kita, Anda juga perlu meyakini bahwa setiap perbuatan manusia juga mesti dimintai pertanggungjawaban. Inilah bukti keadilan illahi yang melegakan dan sekaligus menakutkan. Melegakan karena hal ini membersitkan rasa optimis bahwa setiap perbuatan yang kita lakukan tidak pernah sia-sia. Amal kebaikan kita pasti akan dibalas oleh Tuhan, begitu pula dengan kejahatan kita. Hanya saja, balasan tersebut tidak mesti langsung diberikan di dunia ini, melainkan diberikan di alam akherat.

Ada sebuah kisah sufistik atau lebih tepatnya hadist Qudsi, yang tulis Jalaluddin Rakhmat (2006), yang ingin saya sampaikan lagi kepada Anda.

Dulu, ada seorang raja yang sepanjang hidupnya hanya berbuat maksiat dan zalim. Kemudia ia jatuh sakit. Para tabib meminta raja agar mengucapkan salam perpisahan, sebab ia tidak bisa disembuhkan kecuali dengan sejenis ikan. Sekarang ini bukan musimnya ikan itu muncul di permukaan laut. Tuhan mendengar kabar itu dan memerintahkan para malaikatnya untuk menggiring ikan-ikan agar muncul di permukaan. Raja akhirnya dapat memakan itu. Ia sembuh.
Pada saat yang sama di negeri yang lain, ada seorang raja yang adil dan saleh juga jatuh sakit. Para tabib juga mengatakan bahwa obat untuk penyakitnya adalah ikan yang sama. Mereka mengatakan, “Paduka tidak perlu kahwatir. Sekarang ini musimnya ikan itu muncul di permukaan laut. Sangat mudah memperoleh ikan itu”. Tapi, Tuhan justru memerintahkan para malaikat untuk menggiring ikan-ikan tersebut untuk masuk ke sarang-sarangnya. Dan, raja yang adil itu menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Konon di alam malakut sana, para malaikat bingung dengan keputusan Tuhan, sebagaimana kita juga. Mengapa doa raja yang saleh itu tidak dipenuhi, sementara doa raja yang zalim itu dipenuhi ?. Kemudian Tuhan berkata, “Walaupun raja yang zalim itu banyak berbuat dosa, dia juga pernah berbuat baik. Demi kasih sayang-Ku. Aku berikan pahala amal baiknya. Sebelum meninggal dunia, masih ada amal baiknya yang belum Ku-balas. Maka, Ku-segerakan membalasnya, supaya dia datang kepada-Ku hanya dengan membawa dosa-dosanya. Demikian pula dengan raja yang saleh itu, Walaupun dia banyak berbuat baik. Dia juga pernah berbuat buruk. Aku balas semua keburukannya dengan musibah. Menjelang kematiannya masih ada dosanya yang belum Ku-balas. Maka, Aku tolak doanya untuk mendapat kesembuhan, supaya dia datang kepada-Ku hanya dengan membawa amal kebaikannya.

Saya percaya Anda pasti masygul setelah membaca kisah di atas. Begitu pula saya. Ketika membaca kisah tersebut pertama kali, saya langsung terpukau dan menyadari betapa berbedanya cara pandang dan tindakan Tuhan dengan pikiran kita. Seperti halnya malaikat, kita sering menuduh Tuhan tidak adil, tidak sayang, serta tidak becus mengurusi makhluk-Nya. Mengapa orang yang baik dan suka bekerja keras justru terjerembab dalam kemiskinan dan mengalami musibah silih berganti ?. Mengapa orang-orang yang jahat, yang suka mengambil hak rakyat dan bersikap manipulatif, justru bergelimang harta dan dipuja banyak orang ?. Jawabannya bisa kita temukan dari kisah di atas. Kemiskinan dan musibah yang menimpa orang yang baik barangkali adalah cara Tuhan untuk membersihkan jiwanya. Sebaliknya, kekayaan, penghormatan, dan pujian yang dialamatkan bagi orang yang jahat adalah pembayaran kontan yang diberikan Tuhan atas kebaikan yang mungkin pernah dia lakukan. Tapi, setelah dia meninggalkan dunia fana ini dan kembali menghadap-Nya, tidak ada yang dibawanya kecuali keburukan dan dosa yang bertumpuk-tumpuk. Inilah yang menyebabkan dia harus menanggung beban derita yang teramat pedih.

Pada saat yang sama, konsep pertanggungjawaban di atas juga menyiratkan rasa takut yang teramat dalam. Hanya saja, ketakutan itu mestinya bukan ditujukan kepada Tuhan karena Tuhan itu sendiri sebenarnya teramat kasih kepada umatnya. Ketakutan itu bersumber dari ketidakmampuan kita menjalankan perintahnya dan berbangga dengan larangannya. Hal inilah yang pada gilirannya membuat Tuhan murka dan menjatuhkan hukuman-Nya kepada kita.
Tapi, jika direnungkan lebih dalam lagi, hukuman yang diberikan Tuhan pun sebenarnya juga merupakan manifestasi kasih sayang-Nya. Anda mungkin heran dengan pernyataan ini. Bagaimana mungkin Tuhan menunjukkan kasih sayang-Nya dengan hukuman yang sangat pedih ?. Marilah kita kembali ke masa lalu, tepatnya di saat Anda masih kecil dan berada dalam asuhan ayah dan ibu Anda. Bukankah kasih sayang yang mereka tunjukkan tidak selalu berupa senyuman manis, pujian, dan hadiah ?. Adakalanya mereka menunjukkan kasih sayang mereka dengan teguran, kemarahan, bahkan hukuman yang keras. Tapi, jika Anda renungkan lebih dalam lagi, semua tindakan tersebut pada dasarnya bertujuan untuk kebaikan dan kebahagiaan Anda di kemudian hari.

Lebih dari itu, hukuman yang diberikan Tuhan sebenarnya tidak lain bertujuan untuk membersihkan jiwa manusia. Tuhan menciptakan kita dalam kondisi suci maka Dia juga ingin kita kembali dalam kondisi bersih. Sekali lagi, menurut para sufi, proses pensucian itu berlangsung bertahap, seiring siklus kehidupan manusia. Dalam master piece-nya, Madarij al-Shalikhin, Ibn Qoyyim Al Jauziyah, bercerita tentang proses pembersihan (at-tamhish) yang terjadi tiga kali (Rakmat, 2006). Karena besarnya kasih sayang Tuhan, kita diberikan peluang dalan tiga episode. Pertama di dunia ini, kedua di alam kubur, dan ketiga di alam akherat. Di dunia ini pembersihan itu berwujud musibah, bencana yang datang silih berganti, kesulitan dalam mencari nafkah, dan lain sebagainya. Hanya saja, di dunia ini kita diberikan kesempatan untuk membersihkan sendiri dosa-dosa kita. Misalnya dengan dengan bertaubat, bersedekah, membahagiakan orang lain, puasa, zikir, dan lain sebagainya. Tapi, kadangkala masih banyak dosa yang belum sempat kita bersihkan. Karena itu, menjelang sakaratul maut, jiwa kita dibersihkan Tuhan dengan beratnya proses sakaratul maut. Perbuatan dosa yang paling besar memberikan konstribusi terhadap sakitnya sakaratul maut adalah berbuat zalim kepada sesama manusia, menyakiti orang lain, dan merampas hak mereka.

Selanjutnya, di alam barzakh, ada orang yang belum terhapus dosa-dosanya. Selama hidup di dunia, dia tidak mau membersihkan dosa-dosanya dengan taubat, istighfar, dan musibah. Karena itu, Tuhan membersihkannya dengan siksa kubur. Jika semua itu belum cukup, maka Tuhan akan membersihkannya di akherat dengan empat hal. Pertama, bencana hari kiamat (ahwal al-qiyamah). Kedua, beratnya hari perhitungan, Dan ketiga, syafaat dari orang-orang yang diberikan izin oleh Tuhan untuk memberikan syafaat. Akhirnya, jika semua itu masih juga belum mencukupi, maka pembersihan terakhir adalah ampunan dan kasih sayang Tuhan.
Demikianlah penjelasan Ibn Qoyyim tentang proses pembersihan diri yang merupakan konsekuensi atas tindakan manusia itu sendiri. Proses ini seperti membersihkan kotoran di kamar mandi. Ada orang yang cukup membersihkan dirinya hanya dengan membasuh wajah dan menyiram sekujur tubuhnya. Tapi, ada pula orang yang harus menyikat kotoran yang melekat di tubuhnya berulang-ulang kali. Pilihan ada pada diri Anda. Apakah Anda mau menjadi orang pertama atau orang yang kedua ?. Selamat membersihkan diri !.